Tahun lalu, ketika ibu saya berkunjung, ia mengajak saya untuk berbelanja bersamanya karena dia membutuhkan sebuah gaun yang baru. Saya sebenarnya tidak suka pergi berbelanja bersama dengan orang lain, meskipun itu ibu saya. Saya bukanlah orang yang sabar, dengan sangat terpaksa akhirnya saya ikut dan kami memutuskan berangkat ke pusat perbelanjaan tersebut berdua.
Kami mengunjungi setiap toko yang menyediakan gaun wanita, ibu saya mencoba gaun demi gaun dan mengembalikan semuanya. Seiring waktu yang berlalu, saya mulai lelah, gelisah, dan ibu mulai frustasi.
Akhirnya pada toko terakhir yang kami kunjungi, ibu mencoba satu stel gaun biru yang cantik terdiri dari tiga helai. Pada blusnya terdapat sejenis tali di bagian tepi lehernya. Karena ketidak-sabaran saya, maka untuk kali ini saya ikut masuk dan berdiri bersama ibu dalam ruang ganti pakaian, “Biar semuanya cepat beres” pikir saya.
Saya melihat bagaimana ia mencoba pakaian tersebut dengan susah payah mencoba untuk mengikat talinya. Ternyata, oh Tuhan…, tangan-tangannya sudah mulai dilumpuhkan oleh penyakit radang sendi, dan ibu… dia tidak dapat menalikan gaun itu. Seketika ketidak-sabaran saya digantikan oleh suatu rasa kasihan yang begitu dalam kepadanya. Dada saya sesak, napas saya panas. Saya berbalik pergi dan mencoba menyembunyikan air mata yang keluar tanpa saya sadari. Saya terisak!.
Setelah mendapatkan ketenangan, saya kembali masuk ke kamar ganti dan menahan tangis melihat gemetar tangan ibu. Saya membantunya mengikatkan tali gaun tersebut. Pakaian ini begitu indah dan ibu membelinya. Perjalanan belanja kami telah berakhir tetapi kejadian tersebut terukir dan tidak dapat terlupakan dari ingatan saya. Sepanjang sisa hari itu, pikiran saya tetap saja kembali pada saat berada di dalam ruang ganti pakaian tersebut dan terbayang tangan ibu saya yang sedang berusaha mengikat tali blusnya. Tangannya gemetar…. Oh Tuhan.
Kedua tangan yang penuh dengan kasih, yang pernah menyuapi saya, memandikan saya, memakaikan baju, membelai dan memeluk saya, dan terlebih dari semuanya adalah ibu berdoa untuk saya dengan menadahkan tangannya. Sekarang tangan itu telah menyentuh hati saya dengan cara yang paling membekas dalam hati saya.
Kemudian pada sore harinya, saya pergi ke kamar ibu, lalu meraih tangannya dan menciumnya. Yang membuatnya terkejut adalah ketika saya mengatakan pada ibu, kedua tangan tersebut adalah tangan yang paling indah di dunia ini. Saya sangat bersyukur bahwa Tuhan telah membuat saya dapat melihat dengan mata hati yang baru, betapa bernilai dan berharganya kasih sayang yang penuh pengorbanan dari seorang ibu. Saya hanya dapat berdoa bahwa suatu hari kelak tangan saya dan hati saya akan memiliki keindahannya tersendiri, keindahan tangan Ibu. Terima kasih Tuhan.
***
Dalam lagunya Iwan Fals mengatakan “Seperti udara kasih yang engkau (ibu) berikan, tak mampu ku membalas”. Dengan begitu, hormati ibu setinggi-tingginya penghormatan.
Ibu menaburi kasih sayang tanpa batas, ibu menumpahkan doa dengan ikhlas. Untuk siapa lagi dia mencurahkan doa utamanya selain kepada anaknya sendiri. Di tangannya sebuah masa depan dunia. Nasihatnya adalah pancaran sinar dunia, dan doanya mendinginkan panas neraka, maka sepantasnya surga ada di telapak kaki ibu.
Patut bagi kita sebagai seorang anak menjadikan ibu sebagai suri tauladan potret perjuangan seutuhnya, karena tidak ada pahlawan negeri ini yang lahir bukan dari seorang ibu. Ibulah pahlawan sesungguhnya. Dia mengandung dan melahirkan dengan susah payah namun ikhlas merasakan sakit demi lahirnya si buah hatinya.
Ibu bagaikan seorang malaikat yang sabar melayani anaknya. Masa depan anaknya adalah hasil doa tulus ikhlasnya seorang ibu. Maka jangan sekali-kali kita membantah walaupun hanya berkata ‘ah’.
0 komentar:
Posting Komentar