Seorang pemuda yang berprofesi sebagai ahli amal ibadah berkunjung kerumah seorang sufi dan beniat ingin membanggakan hasil amalnya kepada sang sufi. Sang pemuda dengan bangga mengatakan dirinya sudah melakukan seluruh amal perbuatan baik, amal yang wajib, sunnah, baca Al-Qur’an, menolong dan berkorban untuk orang lain. Harapan sang pemuda itu adalah masuk surga dengan tumpukan amalnya, karena pemuda itu mencatat dalam buku hariannya segala amal yang dia perbuat secara detail hari demi hari
“Saya rasa sudah cukup baik apa yang saya lakukan tuan sufi, dan amal ibadah untuk bekal bagi saya ke surga ”
Sang sufi menjaab dengan pertanyaan: “Apa yang sudah kamu lakukan? Dan kapan kamu menciptakan amal ibadah? Kok kamu merasa punya?”
Pemuda itu terdiam, lalu berkata: “Saya sudah melakukan perintah dan laranganAllah dengan jerih payah dan usaha saya”
“Siapa yang menggerakkan jerih payah dan usahamu itu?” Sang Sufi bertanya lagi.
“Kalau bukan saya, siapa lagi” jawab pemuda ahli ibadah seraya menyombongkan diri.
“ Jadi, kamu mau masuk surga sendiri dengan amal-amalmu itu?”
“Jelas donk tuan!”
“Saya tidak menjamin kamu bisa masuk ke syurga, kalau toh masuk kamu malah akan tersesat disana”
Pemuda itu terkejut bahkan marah atas ungkapan sang sufi, tapi pemuda itu tetap diam menahan rasa marah dihati. Dia ingan kalau dia harus beramal ibadah yang baik.
“Mana mungkin di surga ada yang tersesat, jangan-jangan tuan sufi ini beraliran sesat” kata pemuda itu menuding sedikit melampiaskan marahnya kepada sufi.
“Kamu benar… tapi sesat bagi setan dan petunjuk bagi saya”
“Tolong diperjelas, tuan?”
“Seandainya seluruh amalmu itu ditolak oleh Allah, bagaimana?”
“Lho, kenapa?”
“Siapa tahu kamu tidak ikhlas dalam menjalankan amal ibadah kamu”
“Saya ikhlas kok.. sungguh ikhlas, bahkan setiap keikhlasan amal saya masih saya ingat semua”
“Nah, mana mungkin ada orang yang ikhlas, kalau masih mengingat-ingat amal baiknya? Mana mungkin kamu ikhlas kalau masih mengandalkan amal ibadah? Mana mungkin kamu ikhlas kalau sudah merasa puas dengan amal anda sekarang ini?”
Pemuda itu duduk bingung seperti mengalami cercaan, pikirannya melayang membayangkan bagaimana soal tersesat di surga, soal amal yang tidak diterima, soal ikhlas dan tidak ikhlas.
Dalam kondisi setengah frustrasi, Sang sufi menepuk pundaknya.
“Hai anak muda, jangan kecewa dan jangan putus asa. Kamu cukup istighfar saja, kalau kamu berambisi masuk surga itu baik, tapi kalau kamu tidak bertemu dengan Sang Tuan Pemilik dan Pencipta Surga bagaimana? kan, sama dengan orang masuk rumah orang lalu kamu tidak berjumpa dengan tuan rumah. Apakah kamu seperti orang linglung atau orang yang bahagia?”
“Saya harus bagaimana tuan…”
“Mulailah menuju Sang Pencipta Surga, maka seluruh nikmatnya akan diberikan kepadamu. Amalmu bukan tiket ke surga, tapi keikhlasanmu dalam beramal merupakan tiket dan wadah bagi ridho dan rahmat-Nya. Insya Allah dengan begitu menarik dirimu masuk ke dalamnya…”
Pemuda itu semakin bengong antara tahu dan tidak.
“Begini saja, anak muda. Mana mungkin surga tanpa Allah, mana mungkin neraka bersama Allah?”
Pemuda itu tetap saja bengong, mulutnya melongo seperti kerbau. “Dasar anak muda” gumam sang sufi dalam hati.
***
Ikhlas menduduki peringkat pertama dalam intisari iman karena iman mengobati pangkal segala keburukan. Siapa pun tahu, bahwa ikhlas adalah jurus ampuh yang dipakai dalam menghadapi masalah. Apapun amal yang kita kehendaki, tidak akan afdhol jika tidak diikutsertakan ikhlas dalam hati.
Murni, layaknya ASI dari seorang ibu yang melahirkan. Ikhlas yang sesungguhnya adalah murni dalam hati. Bayangan setan selalu menggoda kita agar mereka selalu memenangi peperangan batin antara kebaikan dan keburukan. Maka, disaat itulah kita diuji. Walaupun seolah ringan tak bertuan, hal-hal keburukan itu kerap terjadi menghantui jiwa. Sebut saja sifat yang kita kenal yaitu ‘sombong’.
“Hati-hati anak-anakku… jauhkan sombong dari jiwamu, karena kesombongan itu akan menghancurkan diri kamu sendiri”, kalimat ini saya dengar dari syeykh tempat saya mondok dulu. Sungguh menyadarkan hati saya untuk tidak berlaku sombong, namun terkadang perlawanan itu datang entah dari mana asalnya. Yang jelas, setan itu ada didalam diri kita sendiri.
Hindari segala bentuk perlawanan hati. Keburukan hati seperti sombong itu akan menyeret jiwa kepada kemunafikan. Kesombongan yang lebih parah adalah ketika kita tidak lagi merasakan adanya kekuatan Tuhan. Seolah semua yang kita kerjakan adalah hasil kekuatan diri tanpa memperdulikan siapa yang membantu dan memberi jalan yang diinginkannya.
Ikhlas dimanapun dan kapanpun kita berada. Bagaimanapun kondisi kita, ikhlas yang hakiki tidak sama sekali menjerumuskan kepada dosa. Apapun alasannya.
“Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. Al-An’aam, ayat: 162)
Memberi tanpa pernah mengingat apa yang kita beri, menerima tanpa pernah melupakan apa yang kita terima. Hanya dengan keikhlasan hati, kita bisa bersyukur atas segala nikmat-Nya.
0 komentar:
Posting Komentar